
Dr. Deviana Mayasari, S.Pd., M.Si
Dosen (FISIP) Universitas Brawijaya
Mataram(KabarBerita)-Pernikahan dini masih sampai saat ini menjadi persoalan serius, dari data Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 26% perempuan menikah di bawah usia 19 tahun. Oleh sebab itu Indonesia bahkan menempati peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dalam kasus perkawinan anak. Salah satu provinsi yang angka pernikahan dini masih tinggi yaitu di Nusa Tenggara Barat (NTB), angka pernikahan dini masih mengkhawatirkan, dari data BKKBN NTB mencatat, sepanjang 2020–2023 jumlah kasus pernikahan dini masih tetap tinggi, khususnya yaitu di Kabupaten Lombok Timur yang menempati posisi teratas. Bahkan, Kecamatan Pringgasela menjadi kecamatan dengan angka pernikahan dini tertinggi di Kabupaten tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus tersebut masih terjadi antara factor ekonomi, tidak sedikit dari masyarakat menganggap maka bahwa dengan menikahkan anaknya, beban ekonomi akan berkurang karena kebutuhan anak akan ditanggung oleh suami atau keluarga dari suaminya. Namun, pandangan tersebut sangatlah keliru karena: sebenarnya Tanggung jawab orang tua belum selesai hanya dengan menikahkan anak. Justru, anak yang menikah di usia muda biasanya belum siap secara finansial, sehingga seringkali berujung kembali menjadi beban keluarga besar. Kemudian yang kedua yaitu factor pendidikan Faktor Pendidikan, dengan Menikah di usia dini hampir selalu berdampak pada putus sekolah. Anak yang menikah, terutama perempuan, biasanya perempuan menikah di bawah usia 19 tahun. Oleh sebab itu Indonesia bahkan menempati peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dalam kasus perkawinan anak. Salah satu provinsi yang angka pernikahan dini masih tinggi yaitu di Nusa Tenggara Barat (NTB), angka pernikahan dini masih mengkhawatirkan, dari data BKKBN NTB mencatat, sepanjang 2020–2023 jumlah kasus pernikahan dini masih tetap tinggi, khususnya yaitu di Kabupaten Lombok Timur yang menempati posisi teratas. Bahkan, Kecamatan Pringgasela menjadi kecamatan dengan angka pernikahan dini tertinggi di Kabupaten tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus tersebut masih terjadi antara factor ekonomi, tidak sedikit dari masyarakat menganggap maka bahwa dengan menikahkan anaknya, beban ekonomi akan berkurang karena kebutuhan anak akan ditanggung oleh suami atau keluarga dari suaminya. Namun, pandangan tersebut sangatlah keliru karena: sebenarnya Tanggung jawab orang tua belum selesai hanya dengan menikahkan anak. Justru, anak yang menikah di usia muda biasanya belum siap secara finansial, sehingga seringkali berujung kembali menjadi beban keluarga besar. Kemudian yang kedua yaitu factor pendidikan Faktor Pendidikan, dengan Menikah di usia dini hampir selalu berdampak pada putus sekolah. Anak yang menikah, terutama perempuan, biasanya langsung berhenti sekolah karena dianggap sudah beralih peran sebagai istri dan calon ibu. Dan yang ketiga adalah Faktor Budaya, Di beberapa daerah, masih terikat dengan adat yang beranggapan bahwa anak perempuan yang sudah beranjak remaja sebaiknya segera menikah agar tidak menjadi “perawan tua.” Lalu Pernikahan anak usia dini dianggap sebagai cara menjaga kehormatan keluarga. Selain itu adanya tekanan sosial dari lingkungan, misalnya jika ada teman sebaya yang sudah menikah, maka orang tua merasa anaknya juga harus segera menikah.
Namun, budaya ini sering mengabaikan hak anak untuk tumbuh, belajar, dan berkembang sesuai usianya. Dan yang terakhir adalah Minimnya Pemahaman tentang Dampak Pernikahan Dini, Sebagian masyarakat belum menyadari dampak buruk pernikahan dini. Dampak kesehatan: kehamilan di usia remaja berisiko tinggi bagi ibu maupun bayi. Dampak psikologis: anak yang belum matang emosinya rentan mengalami stres, depresi, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
Jadi, pernikahan dini sebenarnya bukanlah solusi untuk meringankan beban keluarga, melainkan justru sebaliknya akan menciptakan masalah baru.
Melihat fakta ini, kami bersama masyarakat Desa Rempung, Kecamatan Pringgasela, melakukan kegiatan Sosialisasi langsung berhenti sekolah karena dianggap sudah beralih peran sebagai istri dan calon ibu. Dan yang ketiga adalah Faktor Budaya, Di beberapa daerah, masih terikat dengan adat yang beranggapan bahwa anak perempuan yang sudah beranjak remaja sebaiknya segera menikah agar tidak menjadi “perawan tua.” Lalu Pernikahan anak usia dini dianggap sebagai cara menjaga kehormatan keluarga. Selain itu adanya tekanan sosial dari lingkungan, misalnya jika ada teman sebaya yang sudah menikah, maka orang tua merasa anaknya juga harus segera menikah.
Namun, budaya ini sering mengabaikan hak anak untuk tumbuh, belajar, dan berkembang sesuai usianya. Dan yang terakhir adalah Minimnya Pemahaman tentang Dampak Pernikahan Dini, Sebagian masyarakat belum menyadari dampak buruk pernikahan dini. Dampak kesehatan: kehamilan di usia remaja berisiko tinggi bagi ibu maupun bayi. Dampak psikologis: anak yang belum matang emosinya rentan mengalami stres, depresi, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
Jadi, pernikahan dini sebenarnya bukanlah solusi untuk meringankan beban keluarga, melainkan justru sebaliknya akan menciptakan masalah baru.Melihat fakta ini, kami bersama masyarakat Desa Rempung, Kecamatan Pringgasela, melakukan kegiatan Sosialisasi Pencegahan Pernikahan Dini dan Perlindungan Hukum bagi Anak. Kami juga membagikan infografis edukatif kepada pemuda desa agar pesan lebih mudah dipahami dan disebarluaskan.
Harapan kedepannya, dari kasus pernikahan dini bukan hanya urusan keluarga, tetapi masalah sosial yang memerlukan intervensi bersama. Pemerintah daerah harus hadir dengan regulasi yang kuat, sekolah perlu meningkatkan edukasi reproduksi, dan masyarakat harus berani menolak praktik yang merugikan anak. Jika langkah-langkah kecil ini diperluas ke seluruh NTB, saya optimis angka pernikahan dini bisa ditekan. Anak-anak kita berhak menikmati masa tumbuh kembang, mengenyam pendidikan, dan meraih masa depan tanpa harus dibatasi oleh pernikahan dini. (*)