
Mataram, (KabarBerita) – Komisi V DPRD NTB mengkritisi minimnya alokasi dana pendidikan dalam dokumen Kebijakan Umum Anggaran serta Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Rancangan APBD 2026 yang nilainya baru hanya 7 persen. Padahal berdasarkan regulasi, alokasi belanja pendidikan minimal 20 persen dari total APBD.
“Kami lihat ini masih sangat sedikit. Masih main dari amanat undang-undang,” kata Sekretaris Komisi V DPRD NTB Sitti Ari, Rabu (12/11).
Dijelaskan, alokasi belanja fungsi pendidikan mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam regulasi itu mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 20 persen APBD untuk fungsi pendidikan.
“Setiap tahun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga menerbitkan pedoman penyusunan APBD. Di dalamnya ditegaskan bahwa alokasi minimal 20 persen untuk fungsi pendidikan bersifat wajib,” papar politisi PPP NTB ini.
Komisi V, jelas dia, akan terus mengejar Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk menggenjot agar bisa mencapai 20 persen.
“Ini kan masih rapat permulaan. Pasti nanti kita sampaikan supaya dinaikan lagi postur belanja pendidikan,” ujarnya.
Anggota Komisi V DPRD NTB Muhamamd Jamhur mengatakan bahwa KUA-PPAS Rancangan APBD 2026 belum berpihak pada sektor pendidikan. Itu karena alokasi yang dianggarkan masih terbilang minim. Kurang dari Rp 1 triliun. Itu pun sudah termasuk komponen gaji guru. “Bagaimana caranya agar bisa dinaikkan lagi. Kami akan kejar terus,” papar Jamhur.
Ditegaskan, Pemprov NTB jangan hanya mementingkan sekolah negeri. Tapi juga sekolah swasta. Khususnya lembaga pendidikan pondok pesantren (ponpes). Sejauh ini, ujar dia, perhatian terhadap ponpes masih sangat kurang. Perlu juga ada bantuan rehabilitasi bangunan sekolah madrasah yang mengalami kerusakan. “Apa bedanya madrasah dan sekolah umum. Justru pendidikan moral itu ada di madrasah. APBD harus ada intervensi,” pungkas politisi PKB itu.
DPRD memprediksi turunnya alokasi belanja pendidikan sebagai dampak dari pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD). Kondisi itu berdampak langsung pada kekuatan postur APBD NTB 2025. Baik pendapatan maupun belanja daerah turun cukup signifikan.
Untuk pendapatan daerah mengalami penurunan sampai 15,40 persen. Dari awalnya Rp 6,489 triliun turun menjadi Rp 5,490 triliun. Penurunan pendapatan paling signifikan berasal dari pendapatan transfer pusat. Dari awalnya Rp 3,498 triliun merosot tajam menjadi Rp 2,483 triliun. Pendapatan transfer dari pusat turun sebesar 29,01 persen.
Sedangkan belanja daerah tahun anggaran 2026 juga mengalami penurunan sampai 14,47 persen. Dari awalnya Rp 6,496 triliun dalam APBD 2025 turun menjadi Rp 5,556 triliun di RAPBD 2026.
Anggota Banggar DPRD NTB Raden Nuna Abriadi mengatakan penurunan kekuatan APBD 2026 menggambarkan besarnya ketergantungan APBD pada TKD. Sekitar 60-70 APBD masih disangga dari transfer pusat. Sehingga kebijakan pusat yang memotong TKD seperti tamparan keras bagi Pemprov NTB yang selama ini banyak mengandalkan aliran dana pusat. “Ini benar-benar ujian bagi kemandirian fiskal kita,” kata Raden Nuna.
Ini harus menjadi pembelajaran serius bagi daerah. Khususnya dalam mengerek pendapatan asli daerah (PAD). Sektor-sektor potensial yang menjadi andalan NTB harus dimanfaatkan dengan maksimal. Seperti pariwisata, pertanian dan kelautan hingga tambang. “Ini menjadi PR (pekerjaan rumah, Red) yang serius. Bagaimana menaikkan PAD. Sehingga sektor wajib seperti pendidikan dan kesehatan tidak terdampak dengan penurunan anggaran,” pungkas Nuna. (Red)






