Bahkan setelah Meninggal Dunia Mereka Masih “Berseteru”: Refleksi Hari Pahlawan 2025

Oleh: Mastur Sonsaka (Pecinta Gus Dur)

10 November 2025 – Hari Pahlawan kembali kita peringati di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang semakin digital dan terpolarisasi. Pagi ini, di Istana Negara Jakarta, Presiden Prabowo Subianto memimpin upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh berjasa, termasuk dua mantan presiden yang kontroversial: Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pengumuman ini, yang dijadwalkan pukul 10.00 WIB dan disiarkan secara nasional, menjadi puncak dari proses seleksi ketat yang melibatkan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) di bawah Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Di tahun Indonesia ke-80 kemerdekaan, refleksi ini bukan sekadar nostalgia atas pertempuran fisik melawan penjajah, melainkan pertarungan ideologi yang tak pernah usai. Dua tokoh besar yang telah tiada ini menjadi simbol dari dua kutub yang harus tetap berhadap-hadapan, bahkan setelah kematian mereka. Mengapa demikian? Karena warisan mereka mewakili dua visi Indonesia yang saling bertolak belakang, dan penganugerahan gelar pahlawan hari ini justru mempertegas bahwa konfrontasi ini adalah esensi dari demokrasi yang hidup – sebuah rekonsiliasi simbolik yang memprovokasi debat nasional.
Warisan Suharto: Orde Baru, Stabilitas, dan Bayang-Bayang Otoritarianisme
Soeharto, presiden ke-2 RI yang berkuasa selama 32 tahun (1966–1998), kini secara resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional atas jasanya sebagai “Bapak Pembangunan”. Di bawah rezim Orde Baru, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun, infrastruktur dibangun masif, dan swasembada pangan dicapai pada 1984. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa PDB per kapita Indonesia melonjak dari sekitar US$70 pada 1966 menjadi US$1.100 pada 1996. Stabilitas politik yang ia janjikan menjadi fondasi bagi kemajuan itu. Bagi pendukungnya, Soeharto adalah pahlawan yang menyelamatkan Indonesia dari kekacauan pasca-Gestapu 1965 dan ancaman komunisme – sebuah narasi yang kini diperkuat oleh penganugerahan ini, di mana Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyatakan bahwa Soeharto “memenuhi syarat” berdasarkan kontribusi pembangunannya.
Namun, di balik kemajuan itu, ada harga mahal: represi politik, pelanggaran HAM berat seperti pembantaian 1965–1966 yang menewaskan ratusan ribu orang (menurut estimasi Komnas HAM, hingga 500.000 jiwa), dan korupsi sistemik yang membuat keluarga Cendana menguasai aset negara senilai miliaran dolar. Supersemar 1966 menjadi alat legitimasi kekuasaan absolut, di mana militer menjadi tulang punggung rezim. Bahkan setelah lengser pada 1998, warisan otoritarianisme ini masih menghantui: budaya patronase, sentralisasi kekuasaan, dan ketakutan akan perbedaan. Penganugerahan gelar pahlawan hari ini memicu kontroversi serupa – cucu Soeharto, Bambang Trihatmodjo, menyambutnya sebagai pengakuan atas “jasa kakek” yang tak boleh diabaikan, sementara kelompok korban Orde Baru menolaknya sebagai pengkhianatan terhadap rekonsiliasi sejati. Di era sekarang, kita melihatnya dalam bentuk oligarki yang mengendalikan ekonomi dan politik, di mana stabilitas sering dijadikan alasan untuk membungkam dissenting voices.
Gus Dur: Pluralisme, Demokrasi, dan Kritik terhadap Kekuasaan
Di kutub berlawanan, Gus Dur – presiden ke-4 RI (1999–2001) – juga menerima gelar Pahlawan Nasional hari ini, diakui sebagai “Bapak Pluralisme” atas perjuangannya memperjuangkan inklusivitas di negeri mayoritas Muslim. Sebagai ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang eksentrik, ia memperjuangkan pluralisme melalui dekrit presiden 2000 yang mencabut larangan perayaan Imlek dan mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Gus Dur juga membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang korup, serta mendorong otonomi daerah melalui UU No. 22/1999. Meski masa jabatannya singkat dan penuh kontroversi – termasuk impeachment pada 2001 – ia meninggalkan legacy sebagai pembela hak minoritas, penyandang disabilitas, dan korban pelanggaran HAM.
Gus Dur sering mengkritik Orde Baru sebagai “rezim militeristik”. Baginya, pahlawan sejati bukan yang membangun jalan tol semata, tapi yang melindungi kebebasan berpikir. Dalam pidatonya, ia pernah berkata, “Indonesia bukan milik satu golongan, tapi milik semua anak bangsa.” Warisannya hidup dalam gerakan civil society, seperti Komnas HAM yang ia perkuat, dan budaya toleransi yang ia tanamkan. Penganugerahan ini, yang usulannya telah diajukan sejak 2010, dilihat sebagai keadilan tertunda oleh keluarga dan pendukung NU, dengan Wakil Bendahara Umum HMI Benny Ario menyebutnya sebagai langkah “progresif” untuk rekonsiliasi nasional. Namun, kritik terhadap Gus Dur tak kalah keras: kebijakannya dianggap chaos, ekonomi stagnan selama masa jabatannya, dan gaya kepemimpinan yang tak terstruktur.
Mengapa Harus Tetap Berhadap-Hadapan? Konteks Penganugerahan Gelar Pahlawan Hari Ini
Kedua tokoh ini telah meninggal – Soeharto pada 2008, Gus Dur pada 2009 – tapi ideologi mereka tak ikut terkubur. Penganugerahan gelar pahlawan secara bersamaan hari ini, di tengah 40 usulan dari berbagai daerah yang diserahkan Mensos Saifullah Yusuf kepada Dewan GTK pada Oktober lalu, menjadi momen simbolis yang luar biasa. Ini bukan sekadar penghargaan individu, melainkan upaya rekonsiliasi nasional yang memaksa kita menghadapi sejarah secara proporsional: mengakui capaian Soeharto dalam pembangunan sambil belajar dari pelajaran gelapnya, serta menghormati visi Gus Dur dalam demokrasi sambil mengkritisi ketidakefisienannya. Seperti yang dikatakan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi usai rapat dengan Presiden Prabowo kemarin, “Mereka berjasa bagi bangsa ini,” meski daftar lengkap termasuk Marsinah (aktivis buruh) dan Sarwo Edhie Wibowo menunjukkan keragaman perjuangan.
Di Hari Pahlawan 2025, kita harus mengakui bahwa Indonesia bukan monolit. Visi Soeharto tentang “stabilitas di atas segalanya” sering bertabrakan dengan visi Gus Dur tentang “kebebasan di atas segalanya”. Ini bukan tentang membenci satu pihak, tapi tentang dialektika yang produktif. Penganugerahan ini memantik perdebatan serupa: Partai NasDem, PAN, dan Demokrat mendukungnya sebagai gotong royong nasional, sementara aktivis HAM memperingatkan agar tidak melupakan korban Orde Baru. Lihat saja isu kontemporer:
Korupsi dan Oligarki: Warisan Soeharto terlihat dalam kasus-kasus KKN yang melibatkan elite politik-ekonomi. Gus Dur akan menyerukan transparansi dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.
Intoleransi dan Radikalisme: Di tengah maraknya hoaks dan polarisasi di media sosial, semangat pluralisme Gus Dur menjadi penangkal. Sementara itu, pendekatan “keamanan nasional” ala Orde Baru kadang digunakan untuk membungkam kelompok minoritas.
Pembangunan vs Hak Asasi: Proyek infrastruktur megah di era Jokowi (dan potensial di era berikutnya) mengingatkan pada Orde Baru, tapi sering mengorbankan hak masyarakat adat – sesuatu yang akan dikecam Gus Dur.

Konfrontasi ini adalah esensi Hari Pahlawan. Para pahlawan 1945 seperti Soekarno dan Hatta juga berhadap-hadapan: satu nasionalis, satu Islamis; satu sosialis, satu liberal. Perdebatan mereka melahirkan Pancasila sebagai kompromi. Begitu pula hari ini: tanpa debat antara “stabilitas Soeharto” dan “pluralisme Gus Dur”, Indonesia akan stagnan atau jatuh ke ekstremisme. Penganugerahan gelar ini, sebagai jalan rekonsiliasi, justru memperkaya dialektika itu dengan mengingatkan bahwa pahlawan punya sisi abu-abu.
Refleksi untuk Generasi Z dan Milenial
Di 2025, dengan pemilu baru saja usai dan tantangan global seperti perubahan iklim serta AI, generasi muda harus aktif dalam dialektika ini. Jangan puja-puji Soeharto semata karena jalan tol, atau idealisasi Gus Dur karena tweet-tweet lucunya. Baca sejarah: laporan Tim Pencari Fakta 1965, buku-buku Pramoedya Ananta Toer, atau arsip pidato Gus Dur. Diskusikan di kampus, media sosial, atau forum komunitas – terutama hari ini, saat gelar pahlawan baru saja diumumkan. Ingat, pahlawan bukan patung diam, tapi ide yang hidup dalam perdebatan.
Kesimpulan: Hadap-Hadapan untuk Maju Bersama
Bahkan setelah Gus Dur dan Soeharto meninggal dunia, kita harus tetap berhadap-hadapan. Penganugerahan gelar pahlawan hari ini di Istana Negara bukan akhir dari kontroversi, melainkan awal dari refleksi mendalam – sebuah panggilan untuk rekonsiliasi yang tak melupakan kebenaran pahit. Bukan untuk memecah belah, tapi untuk menyatukan dalam keragaman. Hari Pahlawan 2025 bukan hari libur semata, tapi panggilan untuk berani berbeda, berani kritik, dan berani bangun Indonesia yang adil. Seperti kata Gus Dur, “Gila saja yang penting.” Dan seperti legacy Soeharto, “Pembangunan harus nyata.” Gabungkan keduanya: gila dalam visi, nyata dalam aksi. Selamat Hari Pahlawan – mari kita perjuangkan Indonesia yang tak pernah selesai.

Related Posts

Mengurai “Dua Angka Stunting”:  SSGI vs E-PPGBM

Oleh: dr. H. Emirald Isfihan, MARS.,MH.,CMC.,FISQua (Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram) 
Ketika “dua angka” memicu polemik. Di sejumlah daerah, publik sempat mempertanyakan “mengapa angka stunting naik/turun” saat membandingkan e-PPGBM (dashboard…

Sesak Sendat Jalanan Mataram

Oleh: Dr. H. Muhammad Ali, M.Si (Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram) ‎Perkembangan Kota Mataram dalam satu dekade terakhir patut diapresiasi. Sebagai pusat pertumbuhan di NTB, wajah kota ini semakin modern. Kompleks…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Dinas PUPR Kebut Pembangunan Jalan, Satu Ruas Segera Rampung

Dinas PUPR Kebut Pembangunan Jalan, Satu Ruas Segera Rampung

Kasus Deni: Kesalahan Diakui, Penghakiman Tidak Boleh Berlarut

Kasus Deni: Kesalahan Diakui, Penghakiman Tidak Boleh Berlarut

Pagelaran Peresean Di Loang Baloq Siap Suguhkan Tarung Pepadu ‎

Pagelaran Peresean Di Loang Baloq Siap Suguhkan Tarung Pepadu  ‎

Rehabilitasi Irigasi di NTB Hampir Rampung, Dorong Penguatan Kedaulatan Pangan

Rehabilitasi Irigasi di NTB Hampir Rampung, Dorong Penguatan Kedaulatan Pangan

NTB Kunjungi BLK Singosari, Lihat Langsung Pusat Pelatihan Legendaris di Jatim

NTB Kunjungi BLK Singosari, Lihat Langsung Pusat Pelatihan Legendaris di Jatim

Halaqah Nasional di UIN Mataram Dorong Sinergi Pesantren dan Kampus Untuk Cetak SDM unggul

Halaqah Nasional di UIN Mataram Dorong Sinergi Pesantren dan Kampus Untuk Cetak SDM unggul