
Oleh: Dr. H. Muhammad Ali, M.Si (Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram)
Perkembangan Kota Mataram dalam satu dekade terakhir patut diapresiasi. Sebagai pusat pertumbuhan di NTB, wajah kota ini semakin modern. Kompleks real estate tumbuh di berbagai sudut, kafe berjejer, kost-kostan berdiri rapat, dan jalan-jalan diperluas. Kota ini berkembang dengan pesat, dan geliat ekonominya terasa.
Namun, kemajuan itu ternyata menyimpan catatan penting. Mataram belum sepenuhnya ramah terhadap lingkungannya sendiri. Pascabanjir bandang beberapa bulan lalu, masyarakat kembali disadarkan bahwa pembangunan fisik tak bisa berjalan tanpa keseimbangan ekologis. Di sisi lain, masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan adalah sesaknya jalanan kota.
Lihat saja perempatan Pagesangan. Hampir setiap pagi dan sore jalan di kawasan ini seperti ular panjang yang tersendat-sendat. Kendaraan menumpuk, klakson bersahut-sahutan, dan kesabaran pengendara diuji. Ironisnya, meski jalan telah diperluas, manfaatnya seperti tak terasa. Bahu jalan diokupasi aktivitas usaha dan parkir, sehingga ruang lalu lintas tetap sempit.
Belum lagi persoalan lampu lalu lintas. Pengaturan durasi hijau-merah kadang tidak sinkron dengan kepadatan arus kendaraan. Ada saat lampu hijau terlalu lama padahal arus tipis, sementara di sisi lain pengendara menunggu terlalu lama di jalur yang justru padat. Penyesuaian sistem traffic light berbasis data lalu lintas real-time semestinya bisa menjadi solusi.
Parkir juga menjadi masalah tersendiri. Hampir semua titik di kota ini ada pungutan parkir, tetapi kita jarang melihat dampak nyata dari retribusi tersebut untuk perbaikan fasilitas jalan. Idealnya, dana parkir dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk infrastruktur jalan yang lebih aman, nyaman, dan manusiawi.
Sebagai pengamat kebijakan publik, saya menyoroti beberapa hal penting:
1. Aturan pembangunan real estate perlu lebih ketat. Pembangunan horizontal yang terus memakan lahan sawah harus dibatasi. Kota Mataram sudah saatnya mendorong bangunan vertikal sebagai solusi keterbatasan lahan.
2. Penataan lalu lintas harus menjadi prioritas. Pemerintah kota perlu tegas menertibkan aktivitas di sempadan jalan yang mempersempit arus kendaraan. Jalan yang luas pun akan terasa sempit jika tak dikelola dengan disiplin.
3. Pengelolaan parkir harus transparan dan berorientasi pelayanan. Retribusi yang dipungut dari masyarakat seharusnya kembali dalam bentuk fasilitas jalan, trotoar, hingga estetika kota. Inilah legacy yang akan dikenang masyarakat dari seorang pemimpin kota.
Kota adalah simbol harapan. Ia menampung begitu banyak kompleksitas kehidupan warganya. Jika tidak dikelola dengan serius, Mataram hanya akan menjadi kota yang berjalan autopilot—bergerak sendiri tanpa arah dan tanpa visi.
Saatnya pemerintah kota mengambil langkah nyata. Jalanan yang sesak dan sendat bukan hanya soal lalu lintas, tetapi soal peradaban kota. Mari kita tata segera, sebelum Mataram menjadi kota yang sekadar penuh, tetapi kehilangan ruhnya.








