
MATARAM (KabarBerita) – Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB, Dr. Iswandi, menyatakan bahwa Daerah sedang menghadapi tantangan serius berupa keterbatasan fiskal.
Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi NTB menjadikan Gili Tramena (Trawangan, Meno dan Air) sebagai premis utama pengembangan wisata, mengingat eksistensinya yang telah lama menjadi destinasi favorit wisatawan global.
Iswandi mengatakan bahwa status hutan konservasi yang melekat pada kawasan tersebut, saat ini menimbulkan konflik yang merugikan.
“Kalau kawasan konservasi, jika orang melakukan kegiatan disana, itu dianggap ilegal, tidak pas lah jadinya. Dan ini yang diperjuangkan oleh pemerintah, supaya ada rasa aman juga yang dirasakan investor,” ujarnya kemarin.
Dikatakannya juga, Lombok dan Tiga Gili (Trawangan, Meno, dan Air) telah ditetapkan sebagai destinasi wisata printas, yang statusnya diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres). Namun, inkonsistensi regulasi masih menjadi hambatan.
“Jadi masih ada perbedaan penataan ruang, termasuk di pusat. Yang jadi masalah, sisi perairan sudah konservasi,” terangnya.
Iswandi memaparkan bahwa status hutan konservasi tersebut secara spesifik mengatur larangan masuknya kapal besar ke wilayah Gili, sebuah aturan yang ironisnya turut menjaga keaslian destinasi ini sejak lama.
“Kapal besar tidak boleh masuk ke sana. Pusat juga sedang melakukan kajian-kajian dan pencermatan. Itu yang bikin eksisnya memang dari lama,” ucapnya.
Konflik muncul ketika masyarakat yang bergantung pada sektor pariwisata merasa kegiatan mereka dianggap ilegal akibat status konservasi tersebut. Pemerintah daerah sangat mengharapkan agar kawasan ini secara resmi diperuntukkan sebagai tempat wisata.
Terkait upaya mengubah status dari kawasan konservasi menjadi areal penggunaan lain (APL), Iswandi membenarkan bahwa proses tersebut sedang berjalan dan merupakan konsen pemerintah sejak lama. Namun, ia mengakui adanya kendala.
“Tapi karena ada pergantian pemimpin di tingkat nasional, dulu kan gabung KLH sama Lingkungan Hidup,” ungkapnya, merujuk pada perubahan struktur kementerian yang mempengaruhi proses perizinan.
Poin paling krusial yang saat ini menjadi hambatan adalah proses pengalihan status yang memerlukan dukungan anggaran, yakni untuk konversi dari kawasan konservasi menjadi kawasan APL. Terkait angka atau data spesifik, Iswandi menyatakan tidak dapat memberikannya karena bukan merupakan kewenangannya.
“Pemerintah harapkan tempat ini diperuntukkan memang untuk tempat wisata,” imbuhnya. (Wir/red).








