
Mataram (KabarBerita) – Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Mataram dinilai masih jauh dari potensi sebenarnya. Ketua Komisi II DPRD Kota Mataram, Irawan Aprianto, mengungkapkan fakta mengejutkan: potensi PAD yang tergarap saat ini baru sekitar 25–30 persen dari total riil yang bisa digarap. Ia menilai kondisi ini menjadi bukti lemahnya sistem pengelolaan dan tidak adilnya kebijakan pajak daerah.
“Yang harus kita lakukan untuk mengoptimalkan potensi pendapatan adalah observasi mendalam dan membedah akar masalahnya. Ini bukan hanya soal pajak hotel, tapi keseluruhan sektor pendapatan daerah, baik pajak maupun retribusi,” tegas Irawan, Selasa (11/11).
Irawan mengungkapkan, DPRD sedang mempertimbangkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Optimalisasi PAD. Pansus ini nantinya akan menelusuri titik-titik kebocoran dan menggali potensi yang belum tergarap maksimal.
“Sudah ada wacana dari Teman-teman, kita ingin membentuk Pansus Optimalisasi PAD. Kita ingin betul-betul membedah akar persoalan kenapa potensi pendapatan sering tidak tercapai, dan kenapa banyak sektor belum dikelola secara maksimal,” ujarnya.
Irawan mengungkapkan, hasil diskusi dengan akademisi Dr. Iwan Harsono menunjukkan bahwa potensi PAD Kota Mataram yang tergarap saat ini baru sekitar 25–30 persen dari potensi riil, artinya masih ada sekitar 75 persen potensi pendapatan yang belum tersentuh.
“Kalau dibandingkan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), PAD kita baru sekitar 2 persen. Padahal bisa mencapai 4 sampai 6 persen jika benar-benar dioptimalkan,” tambahnya.
Ia menilai masih banyak sektor PAD yang belum digarap optimal, baik dari sisi intensifikasi maupun ekstensifikasi. Di sisi intensifikasi, ia menyoroti masih adanya kebocoran pendapatan di beberapa sektor klasik seperti retribusi parkir.
Berdasarkan hasil penelitian BRIDA Kota Mataram beberapa tahun lalu menyebutkan potensi retribusi parkir tepi jalan bisa mencapai Rp28 hingga Rp30 miliar. Tapi target yang ditetapkan pemerintah saat ini hanya Rp18 miliar.
“Artinya ada potensi yang hilang di tengah jalan. Ini yang perlu dibenahi melalui intensifikasi dan pengawasan lebih ketat,” tegasnya.
Selain soal kebocoran, Irawan juga menyoroti ketidakadilan dalam penerapan kebijakan pajak daerah. Ia menilai pemerintah daerah cenderung menargetkan pelaku usaha yang legal dan terdaftar, sementara pelaku usaha ilegal atau tanpa izin justru lolos dari kewajiban pajak.
“Restoran resmi diwajibkan bayar pajak, tapi pedagang kaki lima (PKL) dengan omzet harian yang tak kalah besar belum tersentuh pajak. Ini jelas tidak adil,” ujarnya.
Ketidakadilan serupa, lanjutnya, juga terjadi di sektor penginapan. Hotel kelas melati yang kondisinya tengah lesu tetap diwajibkan membayar pajak hotel, sedangkan rumah kos eksklusif yang memungut tarif tinggi kepada penyewa belum dikenai pajak sama sekali.
“Hotel kecil yang omzetnya pas-pasan tetap harus bayar pajak, sedangkan rumah kos elit yang sebenarnya beroperasi seperti hotel tidak tersentuh. Pemerintah harus berani menegakkan aturan dengan adil,” tegas politisi PKS itu.
Menurutnya, penertiban dan perluasan objek pajak seperti PKL dan rumah kos elit tidak hanya akan memperkuat rasa keadilan, tapi juga membuka peluang besar untuk meningkatkan pendapatan daerah.
“Kalau kebijakan pajak diterapkan dengan adil, PAD bisa meningkat signifikan tanpa harus menekan pelaku usaha kecil yang sudah patuh,” pungkasnya.







