
Oleh:
dr. H. Emirald Isfihan, MARS.,MH.,CMC.,FISQua
(Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram)
Ketika “dua angka” memicu polemik.
Di sejumlah daerah, publik sempat mempertanyakan “mengapa angka stunting naik/turun” saat membandingkan e-PPGBM (dashboard daerah) dengan rilis SSGI (pusat). Polemik serupa pernah ramai diberitakan pada 2022–2023: sebagian pihak menganggap e-PPGBM “lebih nyata karena dari lapangan,” sementara SSGI “survei saja.” Padahal, keduanya menilai realitas dari jendela yang berbeda: SSGI mengukur tingkat masalah di populasi, E-PPGBM memotret daftar kasus yang hadir di layanan, wajar jika tidak sama.
Banyak orang membahas stunting, tetapi “mungkin” tidak semua yang sungguh paham mengapa Indonesia kerap punya “dua angka” untuk masalah yang sama. Di satu sisi ada SSGI (Survei Status Gizi Indonesia), dan di sisi lain ada e-PPGBM (Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
Perbedaan angka di keduanya sering memantik polemik, mempengaruhi persepsi publik, bahkan bisa menggeser arah program.
Lantas apa bedanya, mengapa berbeda, kapan dipakai, serta bagaimana para pengambil keputusan semestinya menyikapinya? Mari kita bahas.
SSGI dan e-PPGBM: Sama-sama soal stunting, tetapi “mesinnya” berbeda.
SSGI adalah survei statistik nasional dengan desain ilmiah (stratified multistage random sampling) yang disusun untuk menghasilkan angka prevalensi yang mewakili populasi dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga nasional. Sampel diukur oleh petugas terlatih menggunakan protokol yang terstandar; misalnya pada SSGI 2022, 334.848 balita di 486 kabupaten/kota diukur untuk menghasilkan estimasi representatif. Hasil SSGI menjadi acuan resmi untuk evaluasi target nasional penurunan stunting, misalnya edisi 2024 dirilis pemerintah dengan angka prevalensi nasional 19,8%.
E-PPGBM adalah sistem pencatatan rutin individu berbasis posyandu dan layanan primer, by name by address, yang merekam pengukuran tinggi/berat badan anak, status gizi, dan tindak lanjutnya. Karena berbasis layanan, cakupan dan mutu datanya bergantung pada kehadiran ke posyandu, keterampilan ukur kader/tenaga, alat ukur, serta kedisiplinan input. Kekuatan e-PPGBM justru pada pemetaan sasaran hingga alamat dan pemantauan case management (anak mana yang harus dikunjungi, diberi rujukan, diberi intervensi).
Mengapa angkanya bisa berbeda?
1. Desain & tujuan berbeda. SSGI mengejar representativitas populasi (estimasi prevalensi), sedangkan E-PPGBM mengejar kelengkapan daftar sasaran dan pemantauan individu. Perbedaan tujuan melahirkan perbedaan metodologi, sampling vs routine data capture, yang wajar menghasilkan angka berbeda. Pemerintah pusat sudah menegaskan pembagian peruntukan ini: SSGI untuk evaluasi prevalensi nasional, e-PPGBM untuk monitoring pertumbuhan dan program.
2. Bias cakupan & seleksi. E-PPGBM sangat bergantung pada siapa yang datang ke posyandu dan terinput. Anak yang tidak hadir atau keluarga yang sulit dijangkau dapat “hilang” dari data, sehingga muncul selection bias. Sebaliknya, SSGI mendatangi sampel rumah tangga secara acak dengan pembobotan, meminimalkan bias cakupan.
3. Standar ukur & mutu data. SSGI menggunakan enumerator terlatih, alat terstandar, dan kontrol mutu berlapis. Pada data rutin, variasi keterampilan ukur, kalibrasi alat, dan ketepatan input dapat memengaruhi hasil (mis-classification).
Ritme waktu. E-PPGBM berjalan kontinu (setiap bulan/tri wulan). SSGI bersifat periodik (tahunan/dua tahunan), tetapi kuat sebagai point estimate lintas wilayah dalam satu periode.
Kesimpulan ringkas:SSGI menjawab “seberapa besar masalah di populasi?”; sementara E-PPGBM menjawab “siapa, di mana, dan apa tindak lanjutnya?”
Lalu, data mana yang “benar”?
Pertanyaan ini sering menjebak. Keduanya benar untuk tujuan yang berbeda. Kebijakan nasional memilih SSGI sebagai gold standard prevalensi karena memenuhi kaidah statistik populasi dan dapat dibandingkan antarwilayah/antarwaktu secara adil (apples to apples).
E-PPGBM benar untuk manajemen program, menentukan sasaran, menindaklanjuti kasus, dan mengelola operasional lintas puskesmas/posyandu. Pemerintah pusat telah menyepakati pembedaan peran ini agar publik tidak bingung membaca dua angka sekaligus.
Kelebihan dan keterbatasan masing-masing.
Kelebihan SSGI
* Representatif hingga kabupaten/kota; dapat dibandingkan antar wilayah dan waktu.
* Kontrol mutu pengukuran dan pembobotan statistik yang kuat.
Keterbatasan SSGI
* Tidak by name by address; tidak bisa dipakai langsung untuk “mengunjungi si A di RT 05” misalnya.
* Periodik; tidak memantau progres harian/mingguan.
Kelebihan E-PPGBM
* Individu dan alamat jelas (BNBA)—tepat untuk case finding dan intervensi berlapis (Pemberian Makanan Tambahan, rujukan, kunjungan rumah).
* Kontinu; dashboard bisa memantau capaian bulanan dan kinerja posyandu/puskesmas.
Keterbatasan E-PPGBM
* Rentan under/over-coverage (anak tidak hadir, duplikasi, keterlambatan input).
* Kualitas ukur dan alat bervariasi; validitas komparasi antarwilayah/antarwaktu menentukan hasil.
Kapan memakai yang mana?
* Evaluasi capaian RPJMN/RPJPD, penetapan target nasional/daerah, advokasi lintas sektor, dan alokasi berbasis prevalensi: gunakan SSGI sebagai angka utama.
* Perencanaan operasional puskesmas/kelurahan, intervensi rumah tangga, pemantauan mingguan/bulanan, dan supervisi posyandu: gunakan E-PPGBM sebagai instrumen manajemen sasaran.
* Audit kinerja daerah dan mid-year review: gabungkan; pakai SSGI untuk menilai outcome (prevalensi), dan E-PPGBM untuk menilai output/proses (cakupan layanan, follow-up kasus).
Rekomendasi praktis bagi para pengambil keputusan.
1. Satu kompas, dua instrumen. Jadikan SSGI sebagai kompas (arah dan capaian), E-PPGBM sebagai instrumen(operasi harian).
2. Standardisasi mutu E-PPGBM. Tetapkan SOP pengukuran, audit alat, dan pelatihan kader terjadwal; pantau indikator mutu (proporsi anak diukur dengan alat standar, timeliness input).
3. Rekonsiliasi triwulanan. Perlu “duduk bareng” Bappeda-Dinkes-DP2KB-Puskesmas-Camat/Lurah/Kades dan Pemangku kepentingan lain untuk membaca bersama tren E-PPGBM dan mengaitkannya dengan peta SSGI.
4. Komunikasi lintas sektor. Edukasi OPD non-kesehatan (PUPR, Pendidikan, Sosial) bahwa tolok ukur prevalensi memakai SSGI, agar program sensitif gizi (air bersih, sanitasi, PAUD, bantuan sosial) menyasar kecamatan/desa prioritas yang evidence-based.
Stunting bukan sekadar angka, ia adalah wajah anak-anak yang sedang bertumbuh. SSGI memberi kita peta,seberapa besar masalah dan di mana harus menekan pedal. E-PPGBM memberi kita alamat, siapa yang harus kita kunjungi pagi ini.
Bila keduanya difungsikan sesuai peruntukan, polemik “dua angka” akan berubah menjadi satu gerak: mengakhiri stunting dengan data yang kuat, program yang tepat, dan kepemimpinan yang berani.
Praktis secara sederhana: tetapkan target dengan SSGI, capai target dengan E-PPGBM.
Salam untuk Generasi Emas Indonesia 2045.








