
Oleh : Rasinah Abdul Igit
Ia adalah Franklin D. Roosevelt, salah satu Presiden Amerika Serikat, yang membuat kebijakan radikal di awal pemerintahannya saat negaranya tengah depresi berat pada tahun 1933. Ia melakukan serangkaian kebijakan darurat untuk memulihkan perekonomian. Langkahnya dikenal dengan istilah “The new deal”. Misalnya saja saat ia dihadapkan dengan krisis perbankan. Semua bank ditutup sementara (bank holiday) dan bank yang sehat secara finansial yang diizinkan buka kembali. Ia ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap perbankan.
Franklin menargetkan agenda-agenda mendesaknya bisa dikerjakan di masa 100 hari awal pemerintahannya. Ia ingin membuat wajah Amerika Serikat berubah lewat pakem-pakem awal yang ia tentukan. Inilah awal istilah program 100 hari muncul di banyak negara. Franklin yang memulai tradisi ini. Lalu diikuti oleh presiden yang lain. Lalu diikuti oleh gubernur, bupati, wali kota, hingga kepala desa. Saat Pilkada, para calon kepala daerah akan mengubah ini dan itu di 100 hari awal pemerintahannya. Setelah jadi, publik menagih apa yang dijanjikan itu.
Program 100 hari itu adalah tradisi yang menjalar ke seluruh dunia. Ia bukan ketentuan baku di setiap pemerintahan. Lewat proram 100 hari, seorang pemimpin ingin menunjukkan secara simbolis bahwa dirinya punya langkah terukur dalam membangun. Muaranya adalah terciptanya trust. Kepercayaan publik. Teorinya begitu. Makin tinggi kepercayaan publik, maka makin mudah pemerintahan dilaksanakan. Lewat tradisi ini, seorang pemimpin baru ingin mempertegas bahwa dirinya berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Bahwa dia punya visi. Punya misi. Punya arah yang jelas dalam membangun.
Karena program 100 hari adalah tradisi dan bukan regulasi, maka ia bisa dilaksanakan juga bisa tidak. Tergantung pemimpin. Jika saat kampanye dia menjanjikan ini dan itu di 100 hari pertama ia bekerja, maka tentu dia harus melakukannya. Tapi tetap itu tradisi, bukan regulasi. Ia tidak berkonsekwensi hukum, kecuali berimplikasi etis dan politis. Misalnya, bupati dianggap pembohong karena sebelumnya menjanjikan program A di 100 hari awal pemerintahannya, malah setelah jadi tidak melaksanakannya.
Program 100 hari itu punya daya kejut simbolik untuk menggairahkan kondisi yang sebelumnya biasa saja. Tapi tidak memakainya juga belum tentu menghilangkan efek kejut simbolik itu. Suatu hari setelah dilantik menjadi Gubernur-Wakil Gubernur NTB, Ikbal-Dinda bicara di depan wartawan bahwa Ikbal-Dinda tidak pakai program 100 hari. “ “Tidak ada, wong mandatnya lima tahun kok disuruh seratus hari,” ujar Iqbal,” kata Ikbal.( rri.co.id). Pasangan ini benar. Mandatnya itu lima tahun, bukan 100 hari. Jika pasangan ini tidak bisa menyelesaikan masalah di 100 hari pertamanya, tentu dia masih punya cadangan sekitar 4 tahun lebih 9 bulan. Kinerjanya juga dikontrol lewat mekanisme tahunan di DPRD. Lewat laporan pertanggungjawaban kepala daerah.
Bupati -Wakil Lombok Barat, H. Lalu Ahmad Zaini Laz – Hj. Nurul Adha Muharrar, juga sama. Saya mewancarai keduanya di suatu hari. “ Kami tidak pakai konsep 100 hari. Mana yang mendesak kita selesaikan, ya kita selesaikan. Mana yang butuh kajian matang sebelum dilaksanakan, tentu dikaji dulu, “ ungkap H. Lalu Ahmad Zaini (LAZ).
Ada beberapa tantangan bagi kepala daerah atau bahkan presiden sekalipun yang memilih program 100 sebagai “jualannya”. Saya menjadikan kasus pemerintahan di daerah-daerah di NTB sebagai contoh.
Pertama, tantangan birokrasi. Bayangkan ada kepala daerah terpilih. Ia belum hafal medan di internalnya. Ia baru mengenal secara permukaan birokrat-birokrat yang akan membantunya menjalankan visinya sebagai kepala daerah. Oke jika yang menang adalah petahana. Petahana hafal betul kemampuan kepala-kepala dinas yang membantunya menang. Eh, maksud saya, ia akan dengan mudah melakukan konsolidasi dengan cepat di awal pemerintahan. Program 100 hari relevan untuk dia.
Kedua, tantangan fiskal. Semua kepala daerah hasil Pilkada tahun 2024 dilantik di bulan Februari tahun 2025. Mereka dilantik setelah APBD sudah berjalan. Itu APBD yang disepakati sebelum mereka dipilih dan dilantik. Hal-hal strategis apa yang bisa dilakukan oleh kepala daerah menggunakan APBD yang dirinya tidak terlibat? Sudah barang tentu visi-misinya tidak masuk menjadi landasan APBD itu. Atau jika pun ia mampu melakukan pergeseran-pergeran mata anggaran untuk mengakomodir janji 100 hari kerja, berapa persen yang bida dilakukannya? 100 hari itu tiga bulan lebih beberapa hari. Tantangannya adalah Sebagian mereka tidak cukup bisa berkreasi di tengah-tengah anggaran yang sudah tercantum posnya masing-masing. Sudah tercantum program dinas ini lah. Sudah tercantum pokir dewan segini lah. Begitu kondisinya. Seorang kawan saya, anggota dewan, pernah berkata “ Kita sama-sama punya janji. Bupati punya janji, kami juga punya janji. Bahkan Kades pun punya janji. Jadi mari laksanakan janji masing-masing”.
Ada beberapa tantangan lain. Tapi secara umum, program 100 hari tidak bisa dijadikan patokan seorang kepala daerah berhasil atau tidak. Ia dijadikan sebagai semacam medium pencetak harapan. Supaya warga bisa bilang “ Nah ini baru gubernur. Ini baru bupati. Sat-set sat-set. Turun langsung. Enggak kayak yang sebelumnya”.
Mungkin maksudnya seperti kisah Gubernur Jawa Barat yang gercep menerjunkan diri ke kali yang dipenuhi sampah. Atau seperti Jokowi yang masuk gorong-gorong. Keduanya menciptakan hentakan, meskipun tidak penting.








