
MATARAM (KabarBerita) – Sekretaris jendral (Sekjen) Kementerian Agama RI Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA hadir di UIN Mataram sebagai salah satu Narasumber dalam Rapat Kerja Pimpinan yang berlangsung pada tanggal 22-23 Februari 2025. Dalam pemaparan yang disampaikan di hadapan seluruh unsur pimpinan UIN Mataram, ia menegaskan beberapa poin penting yang menjadi konsenstrasi Perguruan Tinggi Keagamaan, termasuk UIN Mataram.
Pertama, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, kemajemukan itu merupakan realitas sosial yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan agama yang hidup berdampingan. Dalam masyarakat yang multi-keyakinan, agama memainkan peran yang kompleks sebagai pemandu moral, sumber identitas, serta alat untuk membangun solidaritas sosial. Namun, keberagaman ini juga dapat menimbulkan tantangan, seperti potensi konflik antar kelompok atau eksklusivisme sosial.
“Oleh karena itu, penting untuk memahami posisi agama dalam masyarakat yang majemuk guna memastikan harmoni dan kohesi sosial,” terangnya.

Dijelaskan agama bukan sekadar sistem kepercayaan, tetapi juga membentuk identitas individu dan komunitas. Di banyak masyarakat, agama memberikan kerangka moral yang menuntun perilaku sosial, termasuk dalam aspek hukum, politik, dan etika.
“Bahkan, dalam masyarakat modern sekalipun, agama tetap menjadi elemen utama dalam membentuk nilai-nilai kebersamaan, kedermawanan, dan kepedulian terhadap sesama,” tandasnya.
Dalam konteks masyarakat multi-keyakinan, agama tambahnya harus menjadi pengikat bagi kelompok-kelompok tertentu. Namun, jika tidak dikelola dengan bijaksana (khususnya bagi perguruan tinggi), agama dapat menjadi faktor pemisah yang memperkuat sekat-sekat identitas yang eksklusif.
Dirinya juga memberikan gambaran kondisi pergruan tinggi di luar negeri sebagai motivasi dan bisa dijadikan acuan dalam menemukan sumber pendanaan di PTKIN. Pendanaan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas, daya saing, dan keberlanjutan perguruan tinggi di negara maju. Perguruan tinggi memerlukan dana untuk pengembangan infrastruktur, peningkatan mutu akademik, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat.
Dijelaskan dalam praktiknya, sumber pendanaan di negara maju umumnya berasal dari empat sumber utama, yaitu: (1) Pembayaran mahasiswa, (2) sumbangan alumni, (3) kerja sama dengan berbagai pihak, dan (4) <span;>endowment fund<span;> (dana abadi).
“Setiap sumber pendanaan ini memiliki karakteristik dan implikasi yang berbeda dalam menopang keberlanjutan institusi pendidikan tinggi,” jelasnya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa pembayaran mahasiswa merupakan salah satu sumber utama pendanaan perguruan tinggi, terutama di negara-negara dengan sistem pendidikan tinggi yang lebih mengandalkan mekanisme pasar, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
“Model ini mengacu pada kontribusi langsung mahasiswa dalam mendanai biaya operasional perguruan tinggi, termasuk biaya kuliah, laboratorium, fasilitas, dan layanan akademik lainnya,” terangnya.
Ia mencontohkan di banyak perguruan tinggi ternama seperti Harvard, Stanford, dan Oxford, alumni memainkan peran penting dalam memberikan kontribusi finansial. Sumbangan alumni dapat berbentuk donasi individu, penggalangan dana, atau pemberian hibah untuk program akademik dan riset.
Kerja sama dengan sektor industri, pemerintah, dan organisasi internasional menjadi salah satu strategi utama dalam pendanaan pendidikan tinggi di negara maju. Bentuk kerja sama ini ucapnya mencakup proyek penelitian bersama, pendanaan beasiswa, hingga program pelatihan dan internship.
Selanjutnya endowment fund merupakan dana yang dikumpulkan dan diinvestasikan oleh universitas untuk menghasilkan pendapatan jangka panjang. Perguruan tinggi di negara maju, terutama di Amerika Serikat, memiliki dana abadi yang sangat besar, seperti Harvard University dengan endowment fund lebih dari 50 miliar dolar AS.
“Jadi Perguruan tinggi di negara maju memiliki sistem pendanaan yang kompleks dan beragam untuk memastikan keberlanjutan operasional serta peningkatan kualitas akademik,” tambahnya.
Kemudian yang ketiga, dirinya juga menyampaikan bahwa agama tidak hanya berhenti pada keyakinan, tetapi harus membentuk karakter dan perilaku yang berdampak positif. Demikian pula, perguruan tinggi bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tetapi harus berkontribusi dalam menyelesaikan masalah sosial dan membangun peradaban. Dalam konteks ini, ia juga memberikan pemaparan dua aspek utama: (1) Beragama harus berdampak dan (2) Kampus harus bermanfaat bagi masyarakat.
Beragama bukan sekadar ritual atau dogma, tetapi sebuah jalan hidup yang menuntun individu untuk melakukan perubahan positif. Agama hadir bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai etika sosial yang membentuk perilaku manusia dalam interaksi dengan sesama dan lingkungannya.
Dalam berbagai tradisi agama, prinsip dasar dari ajaran moral adalah kebermanfaatan bagi diri sendiri dan orang lain. Ajaran ini menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan beragama bukan hanya terletak pada aspek spiritual pribadi, tetapi juga sejauh mana dampak positif yang diberikan kepada masyarakat.
Perguruan tinggi bukan hanya tempat mencari gelar akademik, tetapi harus menjadi pusat inovasi, riset, dan pemberdayaan masyarakat. Sebuah kampus dikatakan berdampak jika mampu menjadi jembatan antara teori dan praktik, sehingga keilmuan yang berkembang tidak hanya berada di ruang akademik, tetapi juga dapat menjawab persoalan sosial yang nyata.
Baik agama maupun kampus memiliki kewajiban moral untuk berdampak bagi masyarakat. Beragama harus berdampak dengan menghasilkan individu yang memiliki moralitas tinggi, peduli terhadap sesama, dan berkontribusi bagi kesejahteraan sosial. Kampus harus berdampak dengan menghasilkan riset yang solutif, membangun ekonomi berbasis inovasi, serta menjadi mitra strategis bagi masyarakat dan pemerintah.
Keempat, Dalam merespon harmoni alam dan manusia, penting bagi Perguruan Tinggi untuk membangun kesadaran ecoteologi. Di mana ecoteologi merupakan konsep yang menggabungkan kesadaran ekologi dengan nilai-nilai teologis, sehingga menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam konteks budaya kampus, ecoteologi dapat menjadi paradigma yang mendorong perilaku berkelanjutan, kebijakan ramah lingkungan, serta pembentukan karakter mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab ekologisnya sebagai bagian dari ibadah dan kepedulian sosial.
Kampus yang berbasis ecoteologi menanamkan nilai-nilai spiritualitas ekologis dalam setiap aspek kehidupan akademik. Nilai-nilai ini tidak hanya bersumber dari kajian teologi agama, tetapi juga dari kesadaran moral akan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Dalam Islam, misalnya, konsep khalifah fil ardh (manusia sebagai pemimpin di bumi) menjadi prinsip utama dalam menjaga lingkungan sebagai bagian dari ibadah. Sementara itu, dalam perspektif agama lain, terdapat konsep-konsep serupa yang menekankan harmoni dengan alam.
Jika ecoteologi benar-benar dihidupkan dalam budaya kampus, maka kampus tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga model peradaban yang menunjukkan harmoni antara spiritualitas dan lingkungan. Kesadaran ekologis yang berbasis nilai-nilai keagamaan dapat menginspirasi masyarakat luas untuk menerapkan gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
Sebagai pusat intelektual dan moral, kampus memiliki tanggung jawab untuk memberikan teladan dalam menjaga keseimbangan alam. Dengan menghidupkan ecoteologi, kampus dapat menjadi laboratorium kehidupan di mana generasi muda tidak hanya dididik untuk menjadi akademisi atau profesional, tetapi juga pemimpin yang memiliki kesadaran ekologis dan spiritualitas yang mendalam.
Kelima, Kampus bukan hanya sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga pusat penggerak sosial dan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Dengan populasi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang besar, kampus memiliki potensi ekonomi yang signifikan yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan umat. Jika dikelola dengan strategi yang tepat, kampus dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi lokal melalui pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), penciptaan lapangan kerja, serta inovasi berbasis kewirausahaan sosial.
Ekonomi umat dalam konteks kampus merujuk pada model ekonomi berbasis komunitas yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar kampus dalam kegiatan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sejalan dengan konsep ekonomi berbasis kemaslahatan, yang tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga memberdayakan individu dan komunitas secara sosial dan ekonomi.
Pendekatan ini dapat dilakukan melalui tiga strategi utama: (1) Pemberdayaan Usaha Lokal – Kampus dapat menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan UMKM di sekitar kampus; (2) Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) – Masyarakat dapat dibekali dengan keterampilan yang relevan agar mampu berpartisipasi dalam ekonomi kampus; dan (3) Kolaborasi Kampus-Masyarakat dalam Inovasi Ekonomi – Kampus dapat menjadi mitra strategis dalam mengembangkan program ekonomi berbasis riset dan inovasi.
Salah satu peran kampus dalam memberdayakan ekonomi umat adalah dengan menjadi pasar bagi produk dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat sekitar. Kampus dapat menyediakan ruang bagi pelaku usaha lokal untuk memasarkan produk mereka, misalnya melalui: (1) Bazar dan Expo Kampus yang melibatkan pelaku usaha lokal; (2) Pusat oleh-oleh khas daerah yang dikelola oleh komunitas masyarakat sekitar; dan (3) Warung Rakyat Digital di lingkungan kampus yang mendukung usaha berbasis digital dengan model pemasaran modern.
Kampus memiliki peran strategis dalam memberdayakan ekonomi umat di sekitarnya dengan menjadi pusat pendidikan, inovasi, dan pasar bagi produk serta jasa lokal. Dengan mengintegrasikan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, membangun ekosistem kewirausahaan, serta melibatkan mahasiswa dalam program pemberdayaan, kampus dapat menjadi agen perubahan sosial yang menciptakan dampak ekonomi yang nyata bagi komunitas sekitar.
Keenam, Penting bagi kita civitas akademik di Perguruan Tinggi untuk aktif dalam cash wakaf. Dalam Islam, wakaf merupakan salah satu bentuk amal jariyah yang pahalanya mengalir terus-menerus. Tradisionalnya, wakaf sering dikaitkan dengan tanah, masjid, atau sekolah. Namun, dengan perkembangan zaman, lahirlah konsep cash wakaf atau wakaf uang, yang lebih fleksibel dan memiliki potensi besar dalam memberdayakan ekonomi umat. Cash wakaf bukan hanya sekadar ibadah, tetapi juga bukti bahwa agama harus berdampak nyata bagi kesejahteraan sosial.
ash wakaf adalah wakaf dalam bentuk uang yang dikelola secara produktif dan hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan umat. Berbeda dengan wakaf konvensional yang sering kali bersifat statis, cash wakaf bersifat dinamis, lebih mudah diakses, dan berkelanjutan.
Agama harus menjadi pemandu utama dalam membentuk karakter dan pola pikir umat. Ketika agama membangun masyarakat yang cerdas dan berdaya, umat tidak akan mudah terjebak dalam kemiskinan struktural atau manipulasi sosial.
Sebagai pedoman hidup, agama jangan hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran. Jika agama hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran, umat akan terus-menerus berada dalam lingkaran krisis tanpa solusi yang berkelanjutan. Islam mengajarkan bahwa agama harus menjadi petunjuk hidup yang menyeluruh—bukan sekadar alat penyelamat dalam situasi darurat.
Dengan menjalankan peran yang lebih besar, agama akan mengubah umat menjadi masyarakat yang mandiri, berdaya, dan bermartabat—bukan hanya menenangkan mereka setelah terjadi krisis. Maka, sudah saatnyalah agama itu berdampak, kita menghidupkan agama sebagai kekuatan transformasi sosial—bukan sekadar pemadam kebakaran yang hanya hadir ketika api sudah membesar.








