
Oleh: Mastur Sonsaka
Setiap 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini untuk menghormati perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), semangat Kartini relevan untuk memperkuat demokrasi elektoral, khususnya melalui peningkatan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam pemilu. Refleksi Hari Kartini ini mengajak kita meneladani Kartini guna mewujudkan demokrasi inklusif di NTB, di tengah tantangan budaya lokal dan dinamika politik.
RA Kartini: Inspirasi bagi Perempuan NTB
Raden Ajeng Kartini (1879–1904) dikenal sebagai pelopor kesetaraan gender melalui pendidikan dan kebebasan berpikir, sebagaimana tercermin dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Di NTB, dengan budaya patriarki yang masih kuat di beberapa wilayah, pemikiran Kartini menjadi pendorong bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik, termasuk demokrasi elektoral. Kartini menegaskan bahwa perempuan memiliki hak dan potensi untuk berkontribusi, sebuah nilai yang selaras dengan semangat pemilu yang demokratis.
Demokrasi Elektoral di NTB: Data Partisipasi Pemilih 2024
NTB, dengan keberagaman budaya Sasak, Samawa, dan Mbojo, memiliki dinamika unik dalam demokrasi elektoral. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 di NTB berjumlah 3.918.291 pemilih, dengan komposisi 1.839.412 laki-laki dan 1.902.625 perempuan. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 di NTB mencapai 80,68%, menurun dibandingkan Pemilu 2019 yang mencapai 81,9%. Meski angka ini menunjukkan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi, data Pilkada Serentak 2024 di Lombok Timur, salah satu kabupaten di NTB, mencatat penurunan partisipasi menjadi 72% dari total DPT 994.467 pemilih, dibandingkan 76,66% pada Pilkada 2018.
Tantangan utama dalam demokrasi elektoral NTB meliputi:
Keterwakilan Perempuan
Meskipun UU Pemilu mewajibkan kuota 30% calon legislatif perempuan, keterwakilan perempuan di DPRD NTB masih rendah. Pada periode 2019–2024, hanya sekitar 15% anggota DPRD Provinsi NTB yang perempuan. Data Pemilu 2024 belum menunjukkan peningkatan signifikan, dengan faktor seperti minimnya dukungan partai politik dan stereotip gender sebagai hambatan utama.
Literasi Politik
Banyak perempuan di NTB, terutama di pedesaan, memiliki literasi politik yang terbatas. Norma budaya yang menempatkan perempuan pada ranah domestik sering kali membatasi keberanian mereka untuk memahami hak pilih atau menyuarakan aspirasi politik.
Pengaruh Budaya Patriarki
Di komunitas tertentu, seperti di Lombok dan Sumbawa, budaya patriarki memengaruhi pengambilan keputusan politik. Perempuan kerap mengikuti pilihan keluarga atau tokoh masyarakat, mengurangi kebebasan mereka dalam menentukan pilihan politik. Namun, NTB memiliki potensi besar. Perempuan NTB dikenal tangguh dan aktif dalam organisasi sosial seperti PKK, majelis taklim, dan komunitas UMKM. Modal ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan partisipasi politik, sejalan dengan visi Kartini.
Refleksi Hari Kartini: Menghidupkan Semangat Kartini di NTB
Hari Kartini menjadi panggilan untuk mengaktualisasikan pemikiran Kartini dalam penguatan demokrasi elektoral di NTB. Berikut langkah-langkah konkret yang dapat diambil:
Pendidikan Politik Berbasis Budaya Lokal
Kartini menekankan pendidikan sebagai kunci emansipasi. Di NTB, pendidikan politik dapat disampaikan melalui pendekatan budaya lokal, seperti sastra lisan Sasak atau majelis taklim, untuk meningkatkan pemahaman perempuan tentang hak pilih dan proses pemilu. Sosialisasi seperti yang dilakukan Bakesbangpoldagri NTB pada 2024, yang menyasar organisasi wanita dan pemilih pemula, perlu diperluas.
Mendorong Kandidasi Perempuan
Partai politik di NTB harus lebih serius memenuhi kuota 30% calon perempuan dengan memberikan pelatihan kepemimpinan dan dukungan kampanye. Tokoh perempuan lokal, seperti aktivis atau pengusaha, dapat menjadi teladan untuk mendorong lebih banyak perempuan maju sebagai calon legislatif. NTB patut berbangga karena tokoh tokoh perempuannya telah terbukti sukses menempati ruang-ruang politik melalui kontestasi elektoral yang ketat. Selama dua periode kepimpinan DPRD Provinsi dipimpin oleh perempuan, dua periode kontestasi Pilgub dimenangkan oleh calon wakil Gubernur perempuan, Pilkada 2024 memenangkan dua calon wakil bupati perempuan yakni wakil bupati Lombok Barat dan Sumbawa Barat, bahkan NTB mengirim tiga wakil rakyat perempuan ke Senayan.
Kampanye Anti-Patriarki
Mengatasi norma patriarki memerlukan kampanye yang melibatkan tokoh adat, agama, dan masyarakat. Kegiatan budaya seperti “Gendang Beleq” dapat menjadi sarana menyampaikan pesan kesetaraan gender dan hak politik perempuan dengan cara yang diterima masyarakat.
Pemberdayaan Komunitas Perempuan
Komunitas perempuan di NTB, seperti kelompok tenun atau UMKM, dapat menjadi wadah diskusi politik. Dengan melibatkan mereka dalam simulasi pemilu atau diskusi isu lokal, perempuan dapat lebih percaya diri menyuarakan aspirasi.
Peran Penyelenggara Pemilu
KPU dan Bawaslu NTB dapat menggandeng organisasi perempuan untuk menjadi relawan atau penyelenggara pemilu, seperti yang dilakukan pada Pemilu 2024. Ini tidak hanya meningkatkan partisipasi, tetapi juga memastikan proses pemilu yang inklusif dan transparan.
Menuju Demokrasi Elektoral yang Inklusif di NTB
Hari Kartini mengingatkan kita bahwa perjuangan kesetaraan adalah tanggung jawab bersama. Meskipun partisipasi pemilih di NTB pada Pemilu 2024 cukup tinggi (80,68%), penurunan pada Pilkada 2024 (72% di Lombok Timur) menunjukkan perlunya upaya berkelanjutan, terutama untuk melibatkan perempuan. Dengan mengatasi tantangan budaya, meningkatkan literasi politik, dan menghidupkan semangat Kartini, NTB dapat mewujudkan demokrasi elektoral yang mencerminkan suara seluruh rakyat, termasuk perempuan. Seperti kata Kartini, “Habis gelap terbitlah terang.” Mari jadikan Hari Kartini 2025 sebagai momentum untuk menerangi demokrasi elektoral NTB dengan partisipasi perempuan yang lebih kuat, menuju masa depan yang adil dan setara.