PELAYAN TAMU ALLAH: PERJALANAN SPIRITUAL PETUGAS HAJI MENUJU MABRUR

By: M. Zaidi Abdad
TPHD Kota Mataram

Menjadi petugas haji bukan sekadar menjalankan tugas administratif atau melaksanakan instruksi logistik. Ia adalah peran penuh makna yang mengandung tanggung jawab spiritual dan sosial yang besar. Dalam konteks ibadah haji, setiap orang yang terlibat, termasuk petugas, menjadi bagian dari ekosistem suci yang menyentuh aspek paling dalam dari keimanan dan pengabdian.

Ketika jutaan jamaah datang dari berbagai penjuru dunia dengan niat untuk memenuhi panggilan Ilahi, para petugas haji berdiri sebagai penjaga amanah, pelayan tamu-tamu Allah. Dalam istilah yang digunakan Rasulullah SAW, para jamaah adalah wufūdullāh delegasi Allah, para tamu yang datang atas undangan-Nya. Maka, melayani mereka bukan sekadar pekerjaan, tetapi bagian dari penghormatan terhadap syiar agama. Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 32, “Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” Melayani orang-orang yang datang untuk menghidupkan syiar terbesar ini jelas merupakan bagian dari ketakwaan itu sendiri.

Haji yang mabrur adalah dambaan setiap Muslim yang menunaikannya. Rasulullah bersabda, “Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tetapi mabrur bukan semata hasil dari ritual yang sah, melainkan buah dari keikhlasan, kesabaran, dan perubahan moral yang nyata. Maka, jika seorang petugas haji menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan, menahan lelah, marah, dan kecewa demi melayani orang lain, apakah bukan itu pula jalan menuju kemabruran?

Sejarah mencatat banyak contoh dari para sahabat Nabi yang menunjukkan bahwa pelayanan terhadap orang lain, apalagi dalam konteks ibadah, adalah kemuliaan tersendiri. Umar bin Khattab RA dikenal karena sering turun langsung ke masyarakat, menyamar untuk melihat kondisi rakyat, bahkan mengangkat sendiri karung gandum untuk keluarga yang kelaparan. Semangat pengabdian seperti ini menjadi teladan abadi tentang makna pelayanan dalam Islam.

Demikian pula para sufi besar sepanjang sejarah, seperti Imam Al-Ghazali, yang dalam karyanya Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa khidmah (pelayanan) adalah salah satu bentuk ibadah yang paling luhur. Mereka tidak mencari popularitas, tetapi melihat setiap tindakan pelayanan sebagai sarana mendekat kepada Allah. Rabiah Al-Adawiyah bahkan menolak surga dan neraka sebagai motif ibadah, melainkan hanya menginginkan ridha Allah semata. Jika petugas haji menjadikan tugasnya sebagai bentuk cinta kepada Allah dan bukan hanya rutinitas atau pekerjaan, maka ia telah menapaki jalan para pecinta Tuhan itu.

Dalam konteks sosial, kehadiran petugas haji menjadi unsur penting dalam keberhasilan ibadah jamaah. Di tengah usia lanjut, keterbatasan fisik, dan tekanan psikologis yang dirasakan oleh banyak jamaah, sikap ramah dan sabar dari seorang petugas bisa menjadi penenang dan penguat. Ia bukan hanya fasilitator teknis, tetapi penguat mental dan spiritual. Dalam ilmu sosiologi agama, relasi antara pelayan dan yang dilayani dalam ruang ibadah merupakan bentuk solidaritas sosial yang memelihara kohesi umat. Ketika petugas melayani dengan hati, ia sedang membangun jembatan kemanusiaan yang sakral.

Namun di sinilah tantangannya. Tidak semua pelayanan dihargai, tidak semua pengorbanan dibalas. Kadang bahkan dibalas dengan keluhan, umpatan, atau salah paham. Di sinilah nilai spiritual seorang petugas diuji. Apakah ia akan tetap tersenyum ketika disalahkan? Apakah ia akan tetap memberi meski tak dihargai? Jika iya, maka ia telah masuk ke dalam maqam khidmah yang tinggi, seperti para salihin terdahulu yang menjadikan pelayanan sebagai latihan jiwa, bukan sekadar tanggung jawab.

Kemabruran bagi petugas haji bukanlah mimpi kosong. Ia adalah kenyataan yang bisa dicapai ketika seluruh rangkaian pelayanan dijalani dengan niat yang benar, cara yang benar, dan akhlak yang mulia. Tidak ada amal kecil di sisi Allah jika dilakukan dengan cinta dan ketulusan. Bahkan sekadar membantu jamaah menaiki tangga bus atau memberi air minum kepada yang kelelahan, jika dilakukan karena Allah, bisa bernilai besar di akhirat kelak.

Di tengah keramaian jamaah di Makkah dan Madinah, di tengah teriknya suhu mekah dan Arafah, para petugas haji sesungguhnya telah menjalani ibadahnya sendiri. Mungkin mereka tak sempat berdoa panjang di Multazam, tak bisa lama berzikir di Raudhah, atau tak sempat menangis di Jabal Rahmah. Tapi di setiap tetes peluh dan sabar yang mereka berikan kepada para tamu Allah, ada cahaya amal yang mengalir, yang bisa saja lebih mulia dari doa-doa yang panjang namun tanpa pelayanan.

Dalam sunyi, mereka berdoa. Dalam lelah, mereka tetap berjalan. Dalam diam, mereka mengharap hanya satu: agar pelayanan ini dicatat sebagai jalan menuju ridha dan ampunan-Nya. Dan itulah arti kemabruran yang sejati-bukan hanya pulang membawa sertifikat haji, tapi membawa hati yang dibersihkan oleh pengabdian yang tulus.

Sebagaimana para kekasih Allah dahulu tidak mencari balasan selain dari-Nya, demikian pula semestinya orientasi spiritual seorang petugas haji. Pelayanan yang dilakukan bukan karena ingin dipuji oleh atasan, bukan pula untuk memperoleh penghargaan atau fasilitas duniawi, tetapi sebagai bentuk taqarrub-pendekatan diri kepada Allah. Dalam tradisi tasawuf, ini disebut ikhlas mutlaq, yaitu keikhlasan yang tidak menggantungkan amal pada hasil atau penilaian manusia. Justru dari sini ruh kemabruran tumbuh: dari amal yang tersembunyi, dari sabar yang tak terlihat, dari letih yang hanya diketahui oleh Tuhan.

Menjadi pelayan tamu Allah berarti siap memikul beban, kadang tanpa keluhan, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Seperti halnya seorang sufi yang menimba air untuk orang lain meskipun dirinya kehausan, petugas haji sering menomorduakan kenyamanan pribadi demi kemaslahatan bersama. Di sinilah letak ujian ruhani yang tidak tertulis dalam kontrak kerja, namun tercatat di Lauhul Mahfuzh. Mungkin seorang petugas tidak sempat berlama-lama di Masjidil Haram, tapi ia sempatkan diri menyuapi jamaah lansia yang tak bisa makan sendiri, mendorong seorang lansia yang duduk di atas kursi rodanya, dan bisa jadi itulah yang memberatkan timbangan di akhirat kelak.

Akhirnya, dengan perjuangan yang tulus sekembalinya ke tanah air, para petugas haji tak hanya membawa kisah-kisah perjalanan. Mereka pulang dengan pengalaman spiritual yang mendalam, yang dapat menjadi pelajaran berharga untuk kehidupan ke depan. Bila semangat melayani yang mereka tunjukkan di Tanah Suci terus dijaga dalam kehidupan sehari-hari—dengan tetap melayani keluarga, tetangga, dan masyarakat secara tulus dan sabar—maka pengabdian mereka bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan pijakan menuju kehidupan yang lebih bermakna di hadapan Allah. Sebab, hakikatnya, jalan menuju kemabruran tidak hanya ada di Makkah dan Madinah, tetapi juga di setiap tempat yang dihiasi dengan cinta dan ketulusan dalam melayani sesama. (ed. 3)
Wallhu a’lam

Related Posts

Mengurai “Dua Angka Stunting”:  SSGI vs E-PPGBM

Oleh: dr. H. Emirald Isfihan, MARS.,MH.,CMC.,FISQua (Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram) 
Ketika “dua angka” memicu polemik. Di sejumlah daerah, publik sempat mempertanyakan “mengapa angka stunting naik/turun” saat membandingkan e-PPGBM (dashboard…

Sesak Sendat Jalanan Mataram

Oleh: Dr. H. Muhammad Ali, M.Si (Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram) ‎Perkembangan Kota Mataram dalam satu dekade terakhir patut diapresiasi. Sebagai pusat pertumbuhan di NTB, wajah kota ini semakin modern. Kompleks…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Ekonomi NTB Triwulan III-2025 Tumbuh Stabil, IPM dan Ketenagakerjaan Alami Perbaikan

Ekonomi NTB Triwulan III-2025 Tumbuh Stabil, IPM dan Ketenagakerjaan Alami Perbaikan

Tanpa Tambang Ekonomi NTB Tetap Tumbuh Melampaui Rata-Rata Nasional

Tanpa Tambang Ekonomi NTB Tetap Tumbuh Melampaui Rata-Rata Nasional

Kerja Sama Regional Bali, NTB dan NTT Didorong Jadi Lokomotif Pertumbuhan Indonesia Timur

Kerja Sama Regional Bali, NTB dan NTT Didorong Jadi Lokomotif Pertumbuhan Indonesia Timur

Tahun Baru, Rumah Baru: Sekda Mataram Siap Huni Rumah Dinas Rp11 Miliar di Jalan Langko

Tahun Baru, Rumah Baru: Sekda Mataram Siap Huni Rumah Dinas Rp11 Miliar di Jalan Langko

Perekonomian NTB Triwulan III 2025 Tumbuh 3,91 Pers

Perekonomian NTB Triwulan III 2025 Tumbuh 3,91 Pers

BRIDA NTB Gelar FGD, Perkuat Kolaborasi Pentahelix untuk Akselerasi Inovasi Daerah

BRIDA NTB Gelar FGD, Perkuat Kolaborasi Pentahelix untuk Akselerasi Inovasi Daerah